UA-115008529-1

Senin, 20 Mei 2019

MAKALAH Filariasis dengan teknik biologi molekuler lengkap!!!

Posted by Sahabat Siput at Mei 20, 2019 0 comments

MAKALAH TEKNIK PEMERIKSAAN
BIOLOGI MOLEKULER

"Filariasis"

Dosen Pengampu : Nurminha S.Pd.M.SC



Disusun oleh:
Deby Rizkika Putri
1 6 1 3 3 5 3 0 13

POLTEKKES KEMENKES TANJUNG KARANG
PRODI  DIV ANALIS KESEHATAN
TAHUN 2016/2017





KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Kelompok untuk memenuhi mata kuliah “Biologi Molekuler”.
Dalam penulisan makalah  ini penulis membahas tentang "Filariasis” sesuai dengan tujuan instruksional khusus mata kuliah Program Studi DIV Analis Kesehatan Poltekkes Tanjung Karang.
Dengan menyelesaikan makalah ini, tidak jarang penulis menemui kesulitan. Namun penulis sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang membaca yang sifatnya membangun untuk dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi. Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bandar Lampung,14 Mei 2019


Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah.............................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filariasis.......................................................................................... 3
2.2 Siklus Hidup Filariasis....................................................................................... 6
2.3 Gejala Penyakit Filariasis................................................................................... 8
2.4 Epidemiologi Penyakit Filariasis...................................................................... 10
2.5 Diagnosis Penyakit Filariasis........................................................................... 11
PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................... 18
3.2 Saran................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... iii





BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Filariasis   (Penyakit  Kaki  Gajah)  adalah    penyakit yang disebabkan  oleh  cacing filaria   (microfilaria)   yang  dapat menular   dengan  perantaraan    nyamuk  sebagai  vektor.  Penyakit   ini bersifat  menahun (kronis)  dan bila   tidak mend a pat pengobatan  dapat  menimbulkan cacat menetap  seumur hid up berupa pembesaran kaki, lengan dan alat  kelamin  baik  perempuan   maupun   laki-laki    yang  menimbulkan  dampak psikologis  bagi  penderita dan keluarganya.   Akibatnya  penderita  tidak  dapat  bekerja  secara optimal  bahkan  hidupnya tergantung kepada orang  lain  sehingga  menjadi  beban  keluarga,  masyarakat,  dan  negara.Di Indonesia   sampai  saat ini dilaporkan  terdapat   lebih dari  14.932 penderita  kasuskronis  yang tersebar di 418 kabupaten/kota  di 34 provinsi.
Hasil  penelitian   Departemen Kesehatan  dan  Fakultas  Kesehatan  Masyarakat,  Universitas  Indonesia tahun 1998, menunjukkan   bahwa   kerugian   ekonomi  penderita    kronis  filariasis   per tahun   sekitar  17,8%  dari  seluruh pengeluaran   keluarga  atau  32,3% dari biaya makan keluarga.
Penyakit  Kaki Gajah  disebabkan   oleh  tiga spesies  cacing filaria  yaitu Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.  Semua spesies terse but terdapat  di Indonesia, namun lebih  dari  70% kasus filariasis di  Indonesia disebabkan  oleh  Brugia  malayi.  Saat  ini telah   diketahui  ada  23 spesies nyamuk dari  genus  Anopheles, Cu/ex, Mansonia, dan   Armigeres yang  dapat   berperan   sebagai   vektor  filariasis.   Tetapi  vektor  utamanya  adalah Anopheles farauti  dan  Anopheles punctulatus.  Hasil  penelitian     menyebutkan bahwa beberapa spesies  dari genus Anopheles disamping berperan sebagai  vektor malariajuga   dapat  berperan sebagai  vektorfilariasis.
Di daerah  perkotaan,  parasit ini ditularkan  oleh   nyamuk Cu/ex quinquefasatus. Di  pedesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau   nyamuk   Aedes.  Daur   hidup  parasit ini  memerlukan    waktu  yang panjang.  Masa pertumbuhan  parasit  di  dalam   nyamuk kurang   lebih  2 minggu. Pada manusia,   masa  pertumbuhan  belum diketahui secara  pasti tetapi  diduga  kurang lebih  7 bulan.  Microfilaria  yang terisap oleh  nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam  lambung,  menembus   dinding  lambung  dan  bersarang  di  antara otot-otot  toraks.  Awalnya parasit ini memendek,    bentuknya   menyerupai   sosis  dan   disebut larva  stadium  I.  Dalam  waktu kurang  lebih seminggu,  larva ini  bertukar kulit, tumbuh menjadi  lebih gemuk dan  panjang   disebut larva  stadium  11.  Pada hari kesepuluh dan selanjutnya,  larva  bertukar  kulit  sekali  lagi,  tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium  111.   Gerakan   larva  stadium   111   sangat   aktif. Bentuk ini bermigrasi,   mula-mula    ke rongga  abdomen kemudian  ke kepala  dan a lat  tusuk  nyamuk. Bila  nyamuk sedang  aktif mencari darah   akan  terbang berkeliling sampai  adanya  rangsangan  hospes  yang cocok  diterima   oleh  alat  penerima   rangsangannya.
Dengan kemajuan bioteknologi telah dikembangkan diagnosis serologi melalui deteksi antigen yang hanya tersedia  untuk pasien filariasis bancrofti,4 sedangkan untuk filaria Brugia malayi atau Brugia timori harus dengan deteksi DNA,5,6 yaitu melalui Polymerase Chain reaction (PCR) dan sampel yang digunakan adalah darah pasien.
Pada tulisan ini akan diberikan gambaran mengenai teknik PCR untuk mendiagnosis filariasis

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan penyakit Filariasis?
2.      Bagaimana siklus hidup filariasis?
3.      Apa saja gejala penyakit filariasis?
4.      Apa saja epidemiologi penyakit filariasis?
5.      Bagaimana diagnosis penyakit filariasis?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi penyakit filariasis
2.      Untuk mengetahui siklus hidup filariasis
3.      Untuk mengetahui gejala penyakit filariasis
4.      Untuk mengetahui epidemiologi penyakit filariasis
5.      Untuk mengetahui cara diagnosis penyakit filariasis

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filariasis

Filariasis   (Penyakit  Kaki  Gajah)  adalah    penyakit yang disebabkan  oleh  cacing filaria   (microfilaria)   yang  dapat menular   dengan  perantaraan    nyamuk  sebagai  vektor.  Penyakit   ini bersifat  menahun (kronis)  dan bila   tidak mend a pat pengobatan  dapat  menimbulkan cacat menetap  seumur hid up berupa pembesaran kaki, lengan dan alat  kelamin  baik  perempuan   maupun   laki-laki    yang  menimbulkan  dampak psikologis  bagi  penderita dan keluarganya.   Akibatnya  penderita  tidak  dapat  bekerja  secara optimal  bahkan  hidupnya tergantung kepada orang  lain  sehingga  menjadi  beban  keluarga,  masyarakat,  dan  negara.
Spesies: - Wuchereria bancrofti
-          Loa-loa
-          Brugia malayi
-          Onchocerca vulvulus
-          Dipetalonema parstans
-          Mansonella ozzardi         

Hospes defenitif : manusia, cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjer limfe.
Hospes perantara : Nyamuk Culex, Anophles, Aides dan Mansonia Mansonnia,Anopheles,dan Aedes
Ciri-ciri cacing dewasa :
-          menyerupai benang
-          panjang yang ♂ 40-45mm, dan lebar 0,1mm
-          ♀ 80-100mm, dan lebar o,23-0,3mm

Klasifikasi ilmiah :
Kingdom   : Animalia
Kelas        : Secernentea
Ordo        : Spirurida
Sub Ordo : Spirurina
Famili      : Onchocercidae
Genus      : Wuchereria
Spesies    : W bancrofti
Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe. Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.
Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.
W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia. Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural.
Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina, Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas. Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi (radang) saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa  ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi (pelebaran) limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi (Penyusupan/terkumpulnya bahan yang tidak normal ke jaringan )  sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi.Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi ( perkembangan ) jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.
Jadi,  edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut.
 Parasit filaria menjangkiti sekitar 170 juta orang di dunia dengan transmisi melalui nyamuk atau arthropoda lainnya. Parasit ini memiliki siklus hidup yang kompleks, meliputi stadium larva infektif yang dibawa oleh serangga menuju hospes definitif (hanya) manusia berkembang menjadi cacing dewasa di pembuluh limfe atau jaringan subkutan lain, misalnya mata pada Loa loa. Larva infektif yang disebut mikrofilaria ini berukuran panjang sekitar 200 hingga 250 µm serta lebar 5 hingga 7 µm yang bersarung. Bedanya, di antara W.bancrofti, B.malayi, dan B.timori, hanya B.timori yang sarungnya tidak menyerap pewarna sehingga tidak kelihatan bersarung di mikroskop. Yang juga membedakan ketiga spesies ini, pada spesies Brugia, terdapat inti tambahan terutama di ujung ekor serta karakteristik lain seperti jarak mulut, panjang tubuh.
Perkembangan dari larva muda hingga menjadi larva infektif di dalam tubuh nyamuk berlangsung selama 1-2 pekan sedangkan dari mulai masuknya larva dari nyamuk ke tubuh manusia hingga menjadi cacing dewasa berlangusng selama 3 hingga 36 bulan. Meski terkesan gampang sekali tertular oleh nyamuk, namun pada kenyataannya diperlukan ratusan hingga ribuan gigitan nyamuk hingga bisa menyebabkan penyakit filaria. Selain itu, jika sudah terpajan berulang kali dengan nyamuk vektor filarian ini, terdapat kekebalan yang cenderung meningkat. Jadi, orang-orang kampung yang sudah biasa digigit (dihisap) nyamuk Aedes atau Culex akan lebih kebal dibanding orang-orang kota yang kebetulan sedang bepergian ke daerah-daerah perkampungan yang endemis filariasis.

2.2 Siklus Hidup Filariasis
Siklus Hidup :
Cacing ♀ mengeluarkan mikrofilaia   -  dimakan nyamuk      -     menembus dinding usus -nyamuk     -       menuju otot dada nyamuk      -      larva osis             -   larva infektif -nyamuk menghisap darah manusia -ikut aliran darah  -   saluran dan limfe-cacing dewasa -larva microfilaria

Filariasis di Indonesia yang disebabkan oleh 3 spesies filaria secara umum sama yaitu: Filarisis ditularkan dari pasien (orang yang di dalam darahnya mengandung mikrofilaria) baik yang simtomatik maupun asimtomatik kepada orang lain melalui gigitan nyamuk penularnya. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam  lambung nyamuk menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva ini bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva stadium III.
Gerak larva stadium III ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III (bentuk infektif) ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes danbersarng di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium V atau cacing dewasa.
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Mikrofilaria itu hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu- waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang  hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru- paru, jantung, ginjal dan sebagainya).Untuk Brugia malayi pada manusia dan Brugia timori di Indonesia, periodisitasnya juga nokturna. 

2.3  Gejala Penyakit Filariasis
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok  dideteksi dengan flebografi, serta limfangi ektasis skrotum dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala -gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia. Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.
Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

Filariasis memiliki gejala dan tanda akut serta kronis. Biasanya gejala filariasis akut ditandai dengan:
1.      Demam
Demam biasanya terjadi selama 3 sampai 5 hari. Demam juga biasanya akan muncul secara berulang. Ketika Anda mengistirahatkan tubuh, demam akan hilang.Namun, ketika melakukan berbagai kegiatan berat, demam akan kembali muncul.
2.      Kedinginan
Selain demam, Anda biasanya akan merasa kedinginan atau meriang. Kondisi ini biasanya kambuhan dan diikuti dengan demam.
3.      Sakit kepala
Filariasis kronis juga ditandai dengan sakit kepala. Rasa sakit ini umumnya cukup sering muncul berbarengan dengan demam.
4.      Pembengkakan kelenjar getah bening
Pembengkakan ini biasanya muncul di daerah lipatan paha dan ketiak. Umumnya, pembengkakan ini akan terlihat kemerahan, terasa panas, dan nyeri.
5.      Radang saluran kelenjar getah bening
Biasanya kondisi ini ditandai dengan rasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan. Jika Anda merasakan gejala ini, jangan disepelekan dan segera periksakan ke dokter.
6.      Abses filarial
Abses filarial adalah kondisi saat kelenjar getah bening yang membengkak pecah dan mengeluarkan darah serta nanah. Kondisi ini menandakan bahwa infeksi mulai menyebar.
7.      Pembengkakan dini
Pada filariasis kronis, tungkai, lengan, buah dada, dan skrotum akan terlihat kemerahan dan sedikit membengkak. Selain itu, Anda juga akan merasakan sensasi panas di beberapa bagian ini.
Kondisi ini menjadi tanda yang cukup jelas bahwa Anda terinfeksi kaki gajah.
Sementara itu, untuk gejala filariasis kronis, Anda mengalami pembengkakan yang permanen dengan ukuran cukup besar pada:
·         Kaki
·         Kelamin
·         Payudara
·         Lengan
Bagian tubuh yang terinfeksi akan membengkak, terasa nyeri, dan kehilangan fungsi secara bertahap akibat infeksi pada sistem limfatik (limfedema).
Selain itu, kulit tubuh Anda juga biasanya akan terpengaruh dan ditunjukkan dengan berbagai gejala seperti:
·         Kering
·         Tebal
·         Luka
·         Berwarna lebih gelap dari biasanya
·         Berbintik-bintik
Pada pria, infeksi ini dapat menyebabkan pembengkakan dan hidrokel pada skrotum. Dikarenakan filariasis memengaruhi sistem kekebalan tubuh, pengidapnya juga berisiko tinggi terkena infeksi lainnya.

2.4 Epidemiologi Penyakit Filariasis
Berdasarkan data WHO pada tahun 2000 lebih dari 120 juta orang terinfeksi filaria, dengan sekitar 40 juta mengalami kecacatan dan kelumpuhan dengan jumlah hamper 25 juta penderita adalah laki laki dan hamper 15 juta penderita adalah wanita.
Di Indonesia pada tahun 2016 dilaporkan sebanyak 29 provinsi dan 239 kabupaten/kota endemis filariasis, sehingga diperkirakan sebanyak 102.279.739 orang yang tinggal di kabupaten/kota endemis tersebut berisiko untuk terinfeksi filariasis. 1
            Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten tahun 2007, persentase filariasis terdeteksi dengan gejala (DG) di
4 kabupaten yaitu Pandeglang (0,05%); Lebak (0,05%); Tangerang (0,13%); Serang (0,03%). Secara keseluruhan prevalensi filariasis di Provinsi Banten 0,06% sedangkan rata-rata nasional 0,11%. Berdasarkan laporan Dinkes Kota Tangerang Selatan tahun 2009,diketahui 3,1% penduduk di Kota Tangerang Selatan menderita filariasis. 1
Di Indonesia dari ketiga jenis cacing penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur, yaitu Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan untuk Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB, dan Papua.

2.5 Diagnosis Penyakit Filariasis
                
Deteksi parasit filaria yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah. Diagnosis filariasis yang biasa digunakan adalah dengan pemeriksaan darah tebal. Pada filariasis nokturna, karena mikrofilaria berada dalam darah tepi pada waktu malam hari, maka sampel darah harus diambil pada malam hari, untuk mempermudah menemukanmikrofilaria.
Metode Baru untuk Diagnosis Filariasis
Oleh karena filariasis masih menjadi masalah kesehatan di beberapa negara berkembang,maka berbagai metode baru untuk diagnosis terus dikembangkan. Metode– metode baru tersebut terutama dititik beratkan untuk mendiferensiasi spesies filaria.
Diferensiasi spesies filiaria yang sedang marak dikembangkan yaitu dengan menggunakan pelacak DNA yang spesifik spesies dan antibodi monoklonal untuk mengidentifikasi larva filaria dalam cairan tubuh dan dalam tubuh nyamuk vektor sehingga dapat membedakan antara larva filaria yang menginfeksi manusia dengan yang menginfeksi hewan.3 Dengan semakin pesatnya perkembangan biologi molekuler, maka telah berhasil dirancang dua primer spesifik untuk uji Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi, yang kemudian ditemukan bahwa untuk deteksi Brugia timori dapat menggunakan primer Brugia         malayi
Brugia malayi mempunyai genom sepanjang 80.000.000 base pairs (bp), di antara sekuen DNA yang menyusun genom terdapat rangkaian DNA berulang spesifik (highly repeated) dengan panjang 322 bp dalam jumlah 30.000  salinan  DNA.Jumlah salinan DNA berulang tersebut 12% dari seluruh genom Brugia malayi. DNA spesifik 322 bp dapat dipotong oleh enzim restriksi Hha I, yang diisolasi dari bakteri Haemophillus haemolyticus, oleh karena itu DNA berulang 322 bp sering dinamakan Hha I family.5 Dari hasil studi filogenetik menunjukkan bahwa rangkaian DNA berulang antara Brugia malayi dan Brugia timori dari pulau Flores identik. Rangkaian DNA berulang pada Wuchereria bancrofti, panjangnya 195 bp dalam jumlah 300 salinan DNA. DNA berulang ini didesain dari daerah ‘SspI’yang mempunyai situs pengenalan unik yang dipotong endonuklease pada   hampir   semua   salinan   DNA. DNA berulang ini disebut Ssp I family.

Metode standar untuk mendiagnosis infeksi aktif filariasis adalah identifikasi mikrofilaria darah dengan pemeriksaan mikroskopis. Mikrofilaria yang menyebabkan filariasis limfatik beredar dalam darah pada malam hari (disebut nocturnal periodisitas). Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari bertepatan dengan munculnya mikrofilaria, dengan menggunakan pewarnaan Giemsa atau hematoxylin dan eosin. Untuk meningkatkan sensitivitas, teknik konsentrasi dapat digunakan. Teknik serologi merupakan pilihan alternatif untuk mendeteksi mikrofilaria sebagai diagnosis filariasis limfatik. Pasien dengan infeksi filaria aktif biasanya memiliki kadar IgG4 antifilarial dalam darah dan ini dapat dideteksi dengan menggunakan tes rutin. Waktu pengumpulan optimal dalam pemeriksaan SDJ untuk menunjukkan adanya mikrofilaria adalah sebagai berikut :

Periodesitas
Waktu (jam)
Parasit
Periodik nokturna (mikrofilaria memasuki peredaran darah tepi hanya pada malam hari)
20.00-02.00
Wuchereria bancrofti
Brugia malayi
Brugia timori

Periodik diurnal (mikrofilaria ditemukan di darah tepi hospes hanya pada siang hari)
10.00–14.00
Loa-loa
Non perodik (mikrofilaria memasuki peredaran darah tepi hospes pada siang dan malam hari sama banyaknya)

Onchocerca volvulus, Mansonella ozzardi
Subperiodik nokturna (mikrofilaria memasuki peredaran darah tepi hospes paling banyak dimalam hari sedangkan di siang hari jumlahnya sedikit)


Subperiodikdiurnal (mikrofilaria memasuki peredaran darah tepi hospes paling banyak di siang hari sedangkan di malam hari jumlahnya sedikit)

Komponen PCR
      
1.   Cetakan DNA
Pada setiap reaksi PCR diperlukan cetakan  DNA hanya dalam jumlah yang sedikit dan  tidak terkontaminasi. Pada suatu reaksi PCR diperlukan hanya 1 pg (pikogram) cetakan DNA.

2.   Primer oligonukleotida
Primer adalah susunan oligonukleotida yang panjangnya antara 20 – 30 basa nukleotida. Primer digunakan sebagai pembatas yang akan menempel pada kedua ujung cetakan DNA. Urutan basa pada primer merupakan basa komplemen dari masing-masing ujung fragmen DNA yang akan diperbanyak (cetakan DNA).
Pada setiap reaksi PCR diperlukan sepasang primer , yaitu primer pertama sebagai forward primer (upstream primer) dan primer kedua sebagai reverse primer (downstream primer). Pada proses perbanyakan DNA, primer akan menempel pada ujung cetakan DNA, lalu primer ini akan diperpanjang dengan penambahan basa lain yang komplementer terhadap basa cetakan DNA hingga akhirnya akan diperoleh untaian DNA lengkap baru sebanyak dua salinan. Pada satu reaksi PCR umumnya hanya memerlukan primer sebanyak 0,1 μM sampai 1,0 μM.
Pada filariasis malayi, telah dirancang primer PCR untuk mendeteksi sekuen DNA berulang spesifik dengan panjang 322 bp. Primer tersebut adalah forward primer dengan panjang 18 mer 5’ GCG CAT AAA TTC ATC AGC 3’ dan reverse primer dengan panjang 23 mer 5’ GCG CAA AAC TTA ATT  ACA AAAGC 3’. Sekuen DNA berulang Brugia timori sama dengan Brugia malayi,18 maka primer yang digunakan juga sama dengan B. malayi. Untuk W. bancrofti primer yang digunakan adalah forward primer dengan panjang 21 mer 5’CGTGATGGCATCAAAGTAGCG3’dan reverse primer dengan panjang 22 mer 5’ CCC TCA CTT ACC ATA AGA CAA C 3’.
3.   Enzim DNA polymerase
   Enzim DNA polymerase diperlukan untuk memperpanjang primer sehingga terbentuk rangkaian DNA baru. Enzim DNA polymerase yang paling sering digunakan adalah Taq polymerase. Konsentrasi Taq polymerase yang biasa digunakan adalah 2-2,5 unit atau 1- 45 unit per 100 μl reaksiPCR.

4.   Deoksi nukleotida trifosfat(dNTP)
         Pada proses PCR diperlukan bahan utama pembuat DNA yang terdiri atasdeoksi Adenosin Trifosfat (dATP), deoksi Sistidin Trifosfat (dCTP), deoksi Guanosin Trifosfat (dGTP) serta deoksi Timidin Trifosfat (dTTP). Keempat nukleotida tersebut secara keseluruhan dikenal sebagai deoksinukleosida trifosfat, atau dNTP. Pada tahap pemanjangan primer, basa nitrogen tersebut akan diikat pada basa komplementer yang terdapat pada sekuen DNA sasaran (cetakan). Ujung 5’α-fosfat dari deoksinukleotida trifosfat merupakan awal sintesis DNA, dan berakhir pada ujung 3’ pada gugus OH (hidroksil) terminal rangkaian DNA.
            Kebutuhan dNTP untuk suatu reaksi PCR bervariasi, umunya 20 μM atau 50 μM sampai 200 μM untuk setiap jenisnya. Apabila konsentrasinya kurang atau lebih dari jumlah tersebut, maka produk yang dihasilkan tidak akan optimum.

5.   Larutan dapar

                     Untuk kelangsungan reaksi PCR secara optimal diperlukan larutan dapar. Larutan dapar ini mempunyai beberapa formula, tetapi pada dasarnya mengandung kalium klorida, magnesium klorida, Tris HCl dan beberapa bahan kimia lain. Konsentrasi MgCl dapat bervariasi, tetapi umumnya antara 0,5–5,0 mM.

                     Satu siklus PCR terdiri dari tiga tahap: tahap pemanasan (denaturasi), tahap penempelan primer (annealing), tahap pemanjangan primer (extention), dan suhu pada setiap tahap berbeda-beda. Setiap siklus (terdiri dari tiga kali tahap perubahan suhu) akan memperbanyak DNA cetakan dua kali lipat, sehingga banyak DNA yang dihasilkan pada proses PCR adalah 2n dimana n merupakan jumlahsiklus.

Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR atau Reaksi Rantai Polymerase adalah suatu metode in vitro untuk memperbanyak DNA spesifik secara enzimatik pada suatu sekuen DNA yang telah diketahui dengan menggunakan enzim DNA polimerase yang stabil pada suhu tinggi dan sepasang primer oligonukleotida yang melakukan hibridisasi pada bagian cetakan dari dua arah yang berlawanan.
Pada satu rekasi PCR dibutuhkan campuran komponen reaksi dengan volum total 50 – 100 μl. Komponen tersebut adalah cetakan DNA yang akan diperbanyak (DNA template), sepasang primer oligonukleotida, enzim DNA polimerase, deoksinukleotida trifosfat (dNTP), larutan dapar. Semua komponen tersebut akan dipaparkan pada tiga tingkatan suhu berulang, sampai DNA cetakan yang menjadi sasaran  akan diperbanyak secara spontan. Otomatisasi teknik PCR ini dilakukan pada alat thermal cycler.
Tahapan dalam siklus PCR.
1.   Tahap Denaturasi
Pada tahap denaturasi ini, terjadi pemisahan untai ganda cetakan DNA menjadi untai tunggal melalui proses inkubasi pada suhu tinggi. Suhu yang digunakan berkisar 90 – 950 C,13 atau 940 C selama 1 menit.19 Suhu yang tinggi ini digunakan tergantung pada banyaknyakandungan GC sekuen DNA yang diamplifikasi.20 Semakin banyak kandungan GC, semakin tinggi suhu denaturasi yang diperlukan. Proses denaturasi ini bisa gagal apabila suhu pemanasannya kurang tinggi, karena untai DNA yang terdenaturasi akan saling menempel kembali, dan akan mempengaruhi proses PCR
2.   Tahap Penempelan Primer(annealing)
                  Pada tahap penempelan ini, terjadi penempelan oligonukleotida primer DNA pada ujung 3’ dari masing2 untai tunggal cetakan DNA. Pada umumnya suhu penempelan  berkisar antara 37 – 650C,21atau 550C selama 30 detik,19 tergantung titik lebur ™ primer oligonukleotida.
Tm dapat dihitung berdasarkan rumus Tm = (A+T) x 20C + (G+C) x 40C. Biasanya tahap penempelan primer menggunakan suhu 3 – 50C di bawah nilai Tm atau 1-20C di bawah nilai Tm.22
3.           Tahap Pemanjangan Primer(extention)
Pada tahap ini terjadi sintesis urutan pasangan cetakan DNA menjadi untai ganda baru. Setelah terjadi penempelan primer di atas, primer akan diperpanjang membentuk susunan basa yang komplementer dengan DNA cetakan.
Pada tahap pemanjangan primer ini, umumnya digunakan suhu yang disamakan dengan suhu 720C yaitu suhu maksimum enzim Taq polymerase. Rasio temperatur yang dapat digunakan ialah 70–800C, selama 30 detik sampai 1 menit.13
Semua tahapan ini dilakukan dengan menggunakan mesin DNA thermal cycler. Dan dalam 1 kali jalan, bisa dilakukan untuk banyak sampel.

Setelah tahap memperbanyak DNA ini, dilakukan pembacaan hasil dengan menggunakan pelacak DNA. Pelacak DNA untuk Brugia malayi dan Brugia timori adalah: 5’ACG TGA ATT GTA CCA TGG CTG GTCG 3’, dan untuk Wuchereria bancrofti adalah: 5’ GGT TAT ACC AAG CAA AC 3’.
Dengan teknik PCR ini jumlah sampel darah yang digunakan untuk sekali pemeriksaan hanya sebanyak 30 μl. Pada teknik PCR ini, yang dideteksi adalah DNA dari filaria, jadi apabila sampel darah pasien mengandung DNA filaria maka akan terdeteksi, dan pasien tersebut dinyatakan positif menderita filariasis.Dansampel darah tidak harus diambil pada waktu malam hari.
Dengan adanya kemajuan di bidang bioteknologi, maka faktor–faktor yang dapat menjadi kendala diagnosis filariasis terutama untuk daerah endemis yang menggunakan banyak pasien dapat diatasi, yaitu dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction, yang tidak memerlukan pengambilan sampel darah dalam jumlah banyak, pengambilan sampel tidak perlu dilakukan pada malam hari, yang akan menggangu kenyamanan pasien, dan dalam sekali pengerjaannya bisa dilakukan untuk banyak sampel.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Filariasis   (Penyakit  Kaki  Gajah)  adalah    penyakit yang disebabkan  oleh  cacing filaria   (microfilaria)   yang  dapat menular   dengan  perantaraan    nyamuk  sebagai  vektor.
PCR atau Reaksi Rantai Polymerase adalah suatu metode in vitro untuk memperbanyak DNA spesifik secara enzimatik pada suatu sekuen DNA yang telah diketahui dengan menggunakan enzim DNA polimerase yang stabil pada suhu tinggi dan sepasang primer oligonukleotida yang melakukan hibridisasipada bagian cetakan dari dua arah yang berlawanan.
Tahapan PCR :
1.      Denaturasi
2.      Annealing
3.      Extention
Dengan teknik PCR ini jumlah sampel darah yang digunakan untuk sekali pemeriksaan hanya sebanyak 30 μl. Pada teknik PCR ini, yang dideteksi adalah DNA dari filaria, jadi apabila sampel darah pasien mengandung DNA filaria maka akan terdeteksi, dan pasien tersebut dinyatakan positif menderita filariasis.Dansampel darah tidak harus diambil pada waktu malam hari.

3.2 Saran
            Dengan adanya makalah ini penulis mengharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang kelebihan pemeriksaan dengan menggunakan metode PCR dibandingkan dengan metode lainnya seperti metode serologi.





DAFTAR PUSTAKA




 

SAHABAT SIPUT Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea